Our Distance; Triggered by Covid-19

Covid-19 merupakan wabah yang sedang hangat terjadi menyapa warga Indonesia di awal tahun 2020. Pada awalnya masyarakat Indonesia mengira wabah tersebut hanya berdampak di kota Wuhan, China saja. Namun, semenjak awal maret ketika mulai terdeteksi adanya masyarakat Indonesia yang dinyatakan positif Corona maka respon selanjutnya tetap seperti biasa "santai" pada kebanyakan orang tapi tidak pemerintah.
Pemerintah melihat wabah tersebut sebagai ancaman terhadap kestabilan Negara Indonesia dari berbagai sektor, baik Pendidikan, Ekonomi, Politik, Sosial dan lainnya, benar saja setelah kurang lebih 20 hari semenjak pengemuman tersebut terjadi berbagai hal yang dikhawatirkan, seperti melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar hampir mencapai Rp.16.000,-/dollar pada tanggal 19 Maret 2020. Pengumuman darurat nasional akan wabah Covid-19 pun di perpanjang oleh BNPB hingga bulan mei. Namun, kebanyakan masyarakat Indonesia terlihat santai menghadapi hal yang demikian seakan ini lumrah terjadi dan seperti "suratan takdir" yang akan berlalu begitu saja.
Masyarakat sangat berperan untuk mencegah penularan wabah tersebut meluas karena wabah tersebut hadir di tengah-tengah masyarakat, maka kebijakan pemerintah dengan meminta adanya "Social Distancing". Social Distancing yang dilakukan berjalan efektif terhadap sebagian masyarakat namun tidak seluruhnya, ketika masih banyak masyarakat yang dengan "santai" beraktivitas seperti biasa tanpa "high safety" terhadap wabah. Kejadian ini mendasari paradigma sebagian masyarakat bahwa sejak dulu terjadi "Social Distance" namun bukan antar masyarakat melainkan Masyarakat terhadap pemangku jabatan (stakeholder).

Pemangku Jabatan Yang Tersalah
Pada masyarakat Indonesia cenderung sulit untuk mendudukkan suatu permasalahan secara objektif. Masalah yang dihadapi oleh masyarakat seringkali direspon secara aktif namun kurang tepat sikap dalam menghadapi masalah. Biasa yang terjadi di Indonesia bahwa semua persoalan yang menghinggapi masyarakat harus di selesaikan oleh Stakeholder -tiada lain yang mampu- yang menyebabkan tumbuhnya rasa kebergantungan terhadap stakeholder. Disisi lain, rasa kebergantungan menimbun kepercayaan diri dan kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan sehingga merasa masalah terlalu barat bagi diri yang lemah ini. Maka paling mudah bersikap menyelesaikan permasalahan masyarakat adalah menyalahkan pemangku jabatan yang tidak becus, tidak tuntas, tidak cekatan dalam menyelesaikan persoalan. Pada umumnya perilaku menyalahkan pemerintah atas persoalan yang terjadi di suatu tempat adalah hal yang mudah, tidak terlalu susah apalagi sampai menyelesaikan masalah sendiri. Ada indikasi hal ini disebabkan kebijakan yang terlalu memanjakan masyarakat melalui berbagai fasilitas subsidi dari pemerintah berakibat kebergantungan terhadap hal yang bersifat "cuma-cuma".

Putus Rantai Kebiasaan
Masyarakat harus menyadari sebagai warga negara Indonesia yang dipimpin, artinya hidup tidaklah sendiri melainkan dalam suatu kelompok besar yang disebut "Negara" sedangkan masyarakat disebut "Warga" artinya harus terjadi sinergitas antara Pengelola Negara dan Warga. Sinergitas dapat dibangun dengan dasar "Kepercayaan" dan "Kesabaran" yaitu masyarakat mempercayakan seseorang untuk memangku jabatan tertentu dan "bersabar" atas apapun kebijakan yang di keluarkan, meskipun bersifat merugikan di mata sebagian masyarakat. Pemerintah mencoba bersifat adil untuk memutuskan suatu kebijakan melalui keputusan yang bersifat umum, mementingkan kemaslahatan yang lebih besar disebut dengan "Negara". Jika pemerintah tidak peduli terhadap warga negaranya tentu akan hadir banyaknya kebijakan yang "menyeleneh", meskipun begitu sebagai warga tetap harus "bersabar" menghadapi pemimpin tersebut. Melalui sabarlah kita akan memperdalam banyak hal dan melalui sabar kita membangun pondasi dan kekuatan perubahan kebaikan.

Sabar harus dikedepankan
Mengedepankan sabar artinya mengedepankan kepercayaan terhadap kondisi yang lebih baik meski pada saat ini fikiran belum mampu untuk mencerna, sesungguhnya dibalik sabar ada misteri yang terungkap dan kunci misteri tersebut adalah "waktu". Bersabar berkaitan erat dengan "waktu" yang tidak tentu dan tidak diketahui oleh semua orang, karena nya tidak semua orang mampu memiliki sifat dasar sabar dalam menghadapi berbagai hal termasuk terhadap pemerintah. Padahal sabar ini menjadi peredam terhadap pemicu dinamika yang lebih besar. Tidak ada dinasti yang abadi, tidak ada amanah yang selamanya, semua silih berganti, semua titipan yang akan dititipkan kembali ke orang selanjutnya.

Sabar Out Distance
Kesabaran Nabi Musa hingga keadaan terdesak ketika logika mengatakan "tidak akan selamat manusia dalam kondisi seperti ini.." namun keyakinan lebih jauh cara pandang dibanding logika meski kadang keyakinan menerobos hal-hal yang bersifat gelap gulita. Lalu Nabu Musa dan umat setelah melaksanakan kesabaran yang begitu tinggi tibalah bantuan Allah terhadap beliau dan umatnya. Maka Sabar merupakan pemutus jarak diantara kita, jarak ketidak percayaan terhadap pemerintah, jarak kecurigaan sesama tetangga, jarak persaingan dan perebutan jabatan di tempat kerja. Lalu, kita semua dihadapkan pada realita kita harus sadar akan jarak (Our Distance) tersebut. Permasalahan virus bukan lagi penyakit, melainkan permasalahan cara pandang yang mencuak dari dalam alam bawah sadar manusia. Baik orang itu menghujat, baik orang itu bersyukur, maupun orang itu qana'ah meski terhimpit akibat virus corona.

Komentar